Prinsip ‘no work no pay’ banyak digunakan oleh di perusahaan. Prinsip yang adil, dimana karyawan yang tidak bekerja tidak akan menerima upah. Namun banyak pekerja yang tidak mengerti cara kerja prinsip ini dan mengganggap itu merupakan sebuah pemotongan gaji. Namun hal itu adalah salah persepsi. Sebelum menjelaskan lebih lanjut akan lebih baik jika mengerti lebih dulu apa itu prinsip ‘no work no pay’.
Prinsip ‘No Work No Pay’
Prinsip ini memiliki landasan hukum pada hukum perburuhan di Indonesia yaitu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, pasal 93 ayat (1). Yang berisikan:
“Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.
Ketentuan itu kembali diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengupahan No 78 Tahun 2015 Pasal 24 ayat (1): “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan.”
Prinsip ini didukung dengan dua landasan hukum yang kuat. Tidak ada alasan lagi bahwa perusahaan melakukan sesuatu yang sangat kejam terhadap para pekerja.
Keterbatasan
Prinsip tidak dapat diterapkan di semua kondisi pada perusahaan. Pada Pasal 24 PP Pengupahan yang sama, juga tertera beberapa kondisi yang mewajibkan untuk membayar upah kepada karyawan yang berhalangan bekerja:
- Berhalangan, yakni sakit dan tak dapat melakukan pekerjaan; sakit pada haid hari pertama dan kedua (pekerja perempuan); tidak masuk karena menikah, menikahkan anaknya, mengkhitankan anaknya, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran, suami/isteri/anak/orangtua/mertua/menantu atau keluarga yang tinggal serumah meninggal dunia.
- Melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, yakni menjalankan kewajiban terhadap negara; menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya; melaksanakan tugas serikat pekerja/buruh atas persetujuan pengusaha; dan tugas pendidikan dari perusahaan.
- Menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, meliputi hak istirahat mingguan; cuti tahunan; istirahat panjang; cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau cuti keguguran.